Sosialisasi Vs Aksi

Menangin kompetisi? Siapa yang engga mau?
Pertanyaan retoris seperti itu memang tidak perlu dijawab. Hampir setiap orang tentu ingin mengecap sebuah kemenangan baik dalam suatu kompetisi ditingat lokal bahkan internasional. Tapi seberapa besar effort yang sudah dikerjakan? Sudahkah para tribute ini mempersiapkan kemenangan sedari awal? Sudahkah mereka belajar mengenali lawan dan memahami kemampuannya? Dan Apakah persiapan yang mereka lakukan didukung penuh oleh instansi tempat mereka berdiri? Jawabannya ada yang sudah ada yang belum.
Suatu perguruan tinggi terkadang memiliki ambisi yang besar untuk mengirim mahasiswanya mengikuti berbagai kompetisi yang "dianggap bergengsi" sehingga berusaha mencurahkan perhatian dan bahkan mengucurkan dana yang tidak sedikit. Tapi, apakah semua itu lantas dapat mewujudkan mimpi menjadi juara? Belum tentu.Sekarang ini jamannya kerja cerdas. Tak semua keberhasilan dapat diperoleh karena uang.
Aku ingin bercerita tentang salah satu olimpiade karya tulis nasional "bergengsi" yang pernah aku ikuti. Selama mengikuti berbagai event kompetisi karya ilmiah, baru disini aku merasakan atmosfir campur aduk dan sama sekali berbeda. Selama ini ketika mengikuti suatu kompetisi karya tulis/ilmiah, aku selalu mersa kesulitan masalah pembiayaan baik untuk akomodasi maupun logistik dan administrasi. Tapi dalam olimpiade ini, seluruh perkara finansial clear. Selain itu, dalam kompetisi lain selalu saja ada permasalahan mengenai perijinan, kemudian persiapan keberangkata, pembekalan dan lain-lain. Namun, masalah-masalah itu sama sekali tak kutemukan dalam kompetisi ini. Kemudian dalam hati aku bertanya. Sebegitu spesialnya kah kompetisi ini? Jawabannya Ya.Kompetisi ini ternyata merupakan ajang "pamer" kemampuan perguruan tinggi dalam mencetak mahasiswa yang "berkualitas". Standarnya  jelas Emas, Perak, dan Perunggu. Selain para champion, ya cuma jadi seperti aku, cuma jadi "Penggembira". Malu? Jelas. Wong ini kompetisis "bergengsi" lhooo
Nah dari hasil yang menurutku cukup mengecewakan tersebut, lantas apa yang kami lakukan? Evaluasi. Yup betul sekali. Lalu apa lagi setelah evaluasi? Aksi. Hmmm? No. Kami selalu merancang sosialisasi. Roadshow ke fakultas-fakultas, cerita-cerita penalaman, kasih kisi-kisi biar lolos, begitu terus bertahun-tahun selalu menjalani ritual yang sama. Padahal ketimbang sekadar sosialisasi kami lebih membutuhkan yang namanya aksi. Untuk menjadi juara dalam apapun kompetisisnya, butuh kerjasama antar perguruan tinggi dan juga mahasiswa. Mahasiswa ingin bergerak maju, maka perguruan tinggi siap mendorong baik dari segi moral maupun finansisal. Moral misalnya dalam proses pembekalan dan pelatihan, datangkan para ahli yang ada di perguruan tinggi, gembleng mental mahasiswa, pancing ide-ide kreatif mahasiswa, bimbing lalu beri kepercayaan. Secara finansial ya sudah jelas, siap keluar uang (jangan cuma dianggarkan buat rapat, rapat, dan rapat di hotel-hotel mewah). Dukung mahasiswa yang ingin mngeksplorasi idenya baik lewat tulisan maupun penelitian. Beri reward bagi keberhasilan mahasiswa baik dalam bentuk barang maupun kemudahan. Hal ini akan mendorong mahasiswa lain ikut berkompetisi.
Sayangnya selama ini, "Aksi" dari mahasiswa dan perguruan tinggi tidak berjalan beriringan tapi saling berpotonga. Selalu saja ada alasan mahasiswa untuk malas bergerak karena rumitnya birokrasi,sedangkan disisi lain, perguruan tinggi juga lelah dengan ketidak kosistensian mahasiswa. Lalu bagaimana?
Semua terletak pada "telinga" masing-masing. Baik perguruan tinggi maupun mahasiswa harus mau mendengarkan aspirasi satu sama lain. Perguruan tinggi mendengar keluh kesah dan permohonan mahasiswa sedangkan mahasiswa mau mendengarkan keinginan perguruan tinggi. Selanjutnya sikap saling dukung dan terbuka lah yang dapat menjadikan aksi ini memberikan hasil yang nyata. Selamat mencoba!

Komentar

Postingan Populer